Pertanyaan:
Dalam berhijab dan bercadar, Apakah
seorang wanita diperbolehkan memakai warna yang cerah seperti warna merah,
warna hijau, biru, ungu, dan yang lainnya? Dengan alasan bahwa tidak ada
larangan bagi seorang wanita memakainya?
(ditanyakan pada safari dakwah ulama
ahlussunnah, Balikpapan Selasa tanggal 02 Rabi’ul Awal 1431 H)
Jawaban:
Oleh Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al
Mar’I hafidzhahullah
Telah disebutkan dalam Ash
Shahihain, Shahih Al-Bukhori dan Muslim, dari hadits Aisyah rodhiyallahu
ta’aala ‘anhaa bahwa pada saat pertama kali diturunkannya ayat hijab, para
wanita Anshor, begitu mereka mendengarkan tentang ayat tersebut maka merekapun
bersegera untuk mengamalkannya. Sehingga disebutkan di dalam hadis tersebut
bahwa aku tidak melihat seperti wanita anshor, yaitu dalam hal pemenuhan seruan
dan kesegeraan mereka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk
berhijab. Maka yang menjadi syahid adalah bahwa Aisyah berkata, “fakhorojna
wa qod syaqoqna bikhumurihinna wa satarna ru`uusahunna wa ajsaadahunna
ka`annahunnal ghirbaan” (maka mereka langsung keluar dan mereka telah
menyobek kain-kain mereka untuk kemudian menutupi kepala-kepala dan tubuh-tubuh
mereka, seakan-akan mereka itu seperti burung gagak). Apakah kalian tahu burung
gagak itu warnanya apa? Merah atau biru? Tentu warnanya hitam. Maka termasuk di
antara sunnah para Sohabiyyat dalam berhijab adalah mengenakan pakaian hitam.
Demikian pula disebutkan di dalam
banyak hadis, yang untuk blog ini kami ambil satu di antaranya:
Hadis Aisyah dalam Ash-Shahihain
juga, dalam kisah “al ifk”. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa hijab beliau
juga berwarna hitam. Dan semisal riwayat tersebut, telah datang pula riwayat
dari hadis Asma` rodhiyallaahu ta’ala ‘anha dan riwayat-riwayat lain yang
sedemikian banyak. Maka ini semua menunjukkan bahwa hijabnya wanita-wanita
sahabat, adalah berwarna hitam. Dan kita mengatakan bahwa Al Kitab dan As
Sunnah harus dipahami dengan pemahaman siapa? Dengan pemahaman salaful ummah,
dan dengan penerapan salaful ummah. Dan ini termasuk di antara penerapan
salaful ummah. Bahwa mereka dulu mengenakan hijab dengan warna hitam.
Kemudian di sini juga ada hikmah
lain yang lathifah (lembut tapi penting), yaitu bahwa warna hitam lebih
menjauhkan seseorang dari menghias dirinya. Oleh karena itu, hendaknya
seseorang bersemangat untuk memilih hijab dengan warna hitam dan bukan warna
yang lainnya.
Syarat-Syarat Hijab yang Syar’i
Dan di antara syarat-syarat hijab,
sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, bahwa hijab itu memiliki delapan
persyaratan. Hijab seorang wanita muslimah itu tidaklah menjadi hijab yang
syar’iy, sempurna, sampai memenuhi delapan syarat ini.
Syarat yang pertama, bahwa pakaian
tersebut menutupi seluruh tubuhnya. Berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
” Tidak diperbolehkan bagi wanita
untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula
kepada ayah-ayahnya dan kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka” (Q.S.24-31).
Demikian pula disebutkan dalam hadis
Asma, dan yang semakna dengannya adalah hadis Asma, dan juga terdapat pada
hadis Ibnu Mas’ud rodhiyallaahuta’aalaa ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan yang lain, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam:
المرأة عورة فإذا خرجت اشتشرفها
الشيطان
“Wanita itu adalah aurat. Maka
apabila ia keluar,syaithon akan membuatnya indah”.
Yaitu syaithon menjadikannya indah,
dan membuat para lelaki terfitnah dengannya, serta membuat wanita itu terfitnah
oleh para lelaki.
Kemudian syarat yang kedua, bahwa
pakaian itu sendiri bukanlah sebuah perhiasan. Karena itu bertentangan dengan makna hijab. Oleh karena itu
tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengenakan hijab yang justru
menimbulkan fitnah. Seperti kalau hijab itu diberi pernak-pernik dan hiasan
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian wanita karena kejahilan mereka. Dan
hal ini juga karena sikap bermudah-mudahan –disayangkan sekali– dalam
mengenakan sebagian jilbab yang diberi hiasan. Jilbab yang diberi hiasan,
dibordir dengan perak atau dengan warna perak atau dengan warna emas dan
sebagainya. Begitu juga dengan warna-warna. Apabila pada hijab tersebut
terdapat hiasan banyak warna maka yang demikian itu mengandung makna hiasan.
Dan kalian telah mendengar dalam ayat tadi, Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ..الأية
“Tidak diperbolehkan bagi wanita
untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suaminya demikian pula
kepada ayah-ayahnya dan kepada ayah-ayah dari suami-suami mereka” (Q.S.24-31).
Kemudian syarat yang ketiga dan
keempat, hendaknya pakaian tersebut tidak sempit dan tidak pula tipis. Tidak sempit sehingga membentuk lekukan tubuh karenya. Dan
tidak tipis sehingga menampakkan apa yang di balik pakaian tersebut karenanya
dan karena dia tembus pandang. Dua syarat ini ditunjukkan oleh hadis Abu
Hurairoh rodhiyallaahu’anhu di dalam Ash Shahih. Nabi shollallaahu’alayhiwasallam
telah mengabarkan:
صنفان من أهل النار لم أرهما
“Ada dua golongan ahli neraka yang
belum pernah aku lihat”.
Dan beliau menyebutkan dari dua
kelompok itu:
و نساء كاسيات عاريات مائلات مميلات
رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة لا يدخلون الجنة و لا يجدن ريحها و إن ريحها لتوجد من
مسيرة كذا و كذا
“Para wanita yang berpakaian tapi
mereka telanjang. Dan mereka berjalan dengan melenggak-lenggok dan mereka
berjalan dengan menimbulkan fitnah dengan melenggak-lenggok. Kepala-kepala
mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga.
Dan mereka tidak mencium baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari
jarak demikian dan demikian”.
Ibnu Abdil Barr
rohimahullaahuta’aalaa ketika beliau menjelaskan hadis ini maka beliau
mengatakan:
و لا تكون المرأة كاسية و عارية –أي
في نفس الوقت– إلا أن يكون كسائها ضيقا أو رقيقا
“Tidaklah wanita itu disifati dengan
berpakaian dan telanjang –yaitu pada saat bersamaan–, melainkan apabila pakaian
yang dia kenakan itu sempit atau tipis.”.
Dan benarlah apa yang beliau katakan, semoga Allah merahmati beliau.
Demikain pula disebutkan di dalam
Ash Shohih dari hadis Usamah rodhiyallaahu ta’aala ‘anhu bahwa Nabi
shollallaahu ‘alayhi wa aalihi wasallam pernah memberi Usamah hadiah berupa
pakaian qibthiy. Kemudian setelah beberapa waktu Rasulullah
shollallaahu’alayhiwasallam bertanya kepada Usamah tentang pakaian tersebut.
Usamah berkata: “Aku telah
menghadiahkan pakaian tersebut kepada istriku wahai Rasulullah”.
Maka Rasulullah
shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Perintahkan kepada istrimu hendaknya dia
mengenakan di dalamnya “ghilaalah”. Karena aku khawatir pakaian itu akan
menampakkan tulang tubuhnya”.
Pakaian Qibthiy itu termasuk pakaian
penduduk Mesir yang menyerupai pakaian beludru. Kalian tahu beludru? Jenis kain
yang jatuh di badan (mengikuti lekuk badan). Maka ketika Rasulullah
shollallaahu’alayhiwasallam mengetahui bahwa Usamah memberikan pakaian itu
kepada istrinya, beliau menyuruh Usamah untuk menyuruh istrinya mengenakan
“ghilaalah” dibalik pakaian qibthiy tersebut. “Al ghilaalah” adalah pakaian
kasar yang membuat pakaian halus tidak jatuh di badan. Seperti sebagian pakaian
untuk anak kecil perempuan, yang dipakai di bagian dalamnya, jenis kain yang
membuat pakaian mengembang. Kain yang seperti ini disebut “ghilaalah”. Sehingga
dengan kain ini, pakaian di atasnya tidak menempel dengan badan. Dan ini
menunjukkan bahwa makna ini memang dikehendaki dalam hijab seorang wanita
muslimah. Yaitu dia tidak mengenakan pakaian yang sempit. Dan tidak mengenakan
jenis kain yang jatuh di badan di hadapan para pria non-mahrom. Kalau di
hadapan suaminya tentu boleh. Adapun di hadapan pria non-mahrom, maka tidak
diperbolehkan.
Kemudian syarat yang kelima,
hendaknya hijab tersebut tidak diberi minyak wangi atau harum-haruman (bukhur). Disebutkan di dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah, dan makna
hadis tersebut juga terdapat di dalam hadis Abu Hurairah rodhiyallaahuta’aala
‘anhum, bersabda Rasulullah shollallaahu’alayhi wa aalihi wasallam –tentang
wanita ketika ia ingin melakukan sholat– hendaknya ia tidak menggunakan
wewangian. Dalam hadis Abu Hurairah, kalau wanita itu sengaja melakukannya dan
ingin supaya para pria mencium bau harumnya, maka wanita itu adalah pezina.
أيما امرأة مست طيبا ليجد الرجال
ريحها فهي زانية
“Siapa saja wanita yang memakai
wewangian dengan tujuan agar para pria mencium bau harumnya, maka dia adalah
pezina”
Demikian Rasulullah
shollallahu’alayhiwasallam bersabda. Dan di dalam hadis yang lain, yaitu di
dalam hadis Zaenab Ats Tsaqofiyyah:
أيما امرأة أرادت العشاء فلا تمسن طيبأ
“Siapa saja wanita yang hendak
menghadiri sholat Isya maka tidak diperbolehkan baginya menyentuh
wangi-wangian”.
Hadis ini menunjukkan faidah bahwa
memakai wewangian bagi wanita non-mahrom ketika hendak keluar rumah itu tidak
boleh. Dan kalau dia memakainya –dan ini adalah faidah kedua– dan kalau dia
memakainya dengan tujuan agar para lelaki mencium bau harumnya sehingga dengan
begitu ia membuat mereka terfitnah maka ia adalah wanita pezina. Karena ia
telah melakukan sebab-sebab zina. Dan disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas, bahwa
Nabi shollallaahu’alayhi wa aalihi wasallam mengatakan
كتب على ابن أدم حظه من الزنى يدرك
ذلك لا محالة
“Telah ditetapkan atas setiap anak
Adam bahagiannya dari zina. Dia pasti mendapatkan itu dan tidak bisa menghindar
darinya”.
Mata itu berzina dan zinanya adalah
dengan melihat. Telinga itu pun berzina dan zinanya adalah dengan mendengar.
Lisan juga berzina dan zinanya adalah dengan berbicara. Tangan pun berzina dan
zinanya adalah dengan memegang. Maka dengan ini engkau mengetahui bahwa zina
itu tidak terbatas pada zina kemaluan saja.
Demikian pula yang termasuk dalam
syarat hijab adalah pakaian tersebut tidak boleh menyerupai pakaiannya
wanita-wanita kafir atau wanita-wanita fajir (fasik). Tidak boleh bagi wanita muslimah untuk mengenakan pakaian
yang merupakan pakaian khas wanita-wanita kafir atau fajir. Ini tidak boleh.
Allah subhanahu wa ta’aala berfirman di dalam Al Quran Al Karim:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Barangsiapa di antara kalian yang
berloyal kepada mereka maka sesungguhnya orang itu termasuk dari golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS.5:51).
Dan termasuk di antara sikap
berloyal kepada orang kafir sebagai pemimpin adalah sikap menyerupai mereka.
Allah subhanahu wa ta’aala juga
berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ
ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu di sentuh oleh api neraka..” (Q.S.11:113)
Dan termasuk di antara sikap
cenderung kepada orang-orang yang zholim adalah sikap menyerupai mereka. Dan di
dalam hadis Nabi shollallaahu’alayhi wa ‘ala aalihi wasallam, di mana beliau
bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum maka dia termasuk dari kalangan mereka”
(diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari hadis Abdullah bin Umar
rodhiyallaahu ta’aalaa ‘anhuma dengan sanad yang shahih).
Demikian juga yang termasuk
syarat-syarat hijab adalah hendaknya pakaian tersebut tidak menyerupai pakaian
laki-laki. Maka tidak boleh bagi seorang
wanita untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Sebagaimana
juga tidak boleh bagi laki-laki untuk mengenakan pakaian yang menyerupai
pakaian perempuan. Dan makna ini disebutkan di dalam hadis Ibnu Abbas, hadis
Abu Hurairah, dan hadis Aisyah, di mana Rasulullah shollallaahu’alayhi wa’alaa
aalihi wasallam telah melaknat para wanita yang menyerupai laki-laki. Dan
beliau juga telah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki, demikian juga
laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan. Dan Rasulullah
shollallaahu’alayhiwasallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.
Maka hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita
untuk mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki meskipun pakaian
tersebut menutupi tubuhnya. Seperti kalau di sana ada jenis pakaian yang khusus
dikenakan oleh lelaki, kemudian ada seorang wanita yang hendak berhijab
denganya, yang demikian tidak diperbolehkan karena pakaian tersebut khas untuk
lak-laki.
Kemudian syarat yang terakhir, di
antara syarat-syarat hijab seorang muslimah, hendaknya pakaian tersebut bukan
termasuk pakaian syuhroh. Bukan
termasuk pakaian kemasyhuran. Dan yang dimaksud dengan pakaian kemasyhuran
adalah pakaian yang mendorong seseorang untuk terfitnah. Yang menyebabkan
seseorang itu terfitnah, bagi yang memakainya. Di mana pakaian tersebut menarik
perhatian orang. Sehingga bisa jadi wanita yang memakai pakaian kemasyhuran
tersebut mendapatkan gangguan, atau menyebabkan dia terfitnah dari berbagai
aspek dengan sebab memakai pakaian kemasyhuran tersebut. Yaitu pakaian tersebut
memiliki perbedaan yang terlalu mencolok sehingga bisa menimbulkan fitnah.
Peringatan!
Dan yang terakhir ini, saya ingin
memberikan peringatan tentangnya karena sebahagian ikhwah dan akhwat, mereka
diuji dengan masyarakat yang tidak terbiasa dengan hijab, khususnya yang
berwarna hitam. Sehingga kemudian dia menjauhi hijab berwarna hitam dengan
beralih kepada hijab yang berwarna dikarenakan khawatir mungkin hal itu akan
menimbulkan konflik dengan masyarakat. Maka di sini kita mengatakan bahwa Allah
subhanahu wa ta’aala lebih menyayangi kita daripada diri kita sendiri. Dan para
ahlul ilmi telah berbicara tentang permasalahan-permasalahan seperti ini.
Adapun apabila di sana memang ada
fitnah yang betul-betul terjadi, sehingga seorang wanita sama sekali tidak
mungkin mengenakan hijab, di sini berarti memang syiar-syiar Allah tidak
ditegakkan. Maka ketika itu yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan
muslimah untuk berhijrah dari negeri itu ke negeri lain yang di situ ditegakkan
syiar-syiar Allah. Dan kalau mungkin hijab itu dikenakan, hanya saja perbuatan
mengenakan hijab ini dengan sifat tertentu yang tidak bertentangan dengan
syari’at, sekalipun di dalamnya terdapat pengabaian terhadap sebagian hal yang
lebih sempurna dan lebih utama, maka dikatakan bahwa kalau memang ini benar,
dan merupakan kenyataan yang betul-betul terjadi bukan cuma khayalan, maka
meminimalisasi keburukan itu merupakan suatu tuntunan yang syar’iy. Dan
mengerjakan perbuatan yang lebih ringan mudhorotnya untuk mencegah mudhorot
yang lebih besar adalah dibolehkan dalam syari’at. Dan Allah lebih mengetahui
orang yang jujur dan orang yang berdusta. Karena sebagian orang kadang-kadang
mengklaim bahwa dia khawatir mendapatkan mudhorot yang besar. Padahal
sesungguhnya klaim itu hanya khayalan saja. Dan pada
kenyataannya,persangkaannya itu tidak sungguh-sungguh ada. Maka tidak boleh
bagi seorang muslim untuk mengambil keringanan yang tidak disertai dengan izin
untuk keringanan tersebut. Akan tetapi kalau mafsadat itu benar-benar ada, maka
di sini tidak diragukan lagi bahwa mengambil mafsadat yang lebih ringan untuk
menghindari mafsadat yang lebih besar itu diizinkan di dalam syari’at. Dan
bersamaan dengan itu dikatakan untuk orang seperti ini: pindahlah ke tempat
lain, ke saudara-saudaramu yang muslim yang dengan bersama mereka engkau bisa
menyembah Rabbmu sesuai dengan apa yang Ia cintai dan Ia ridhoi.
Maka dengan ini menjadi jelaslah
jawaban atas pertanyaan tersebut dengan berbagai sisi dan keadaannya. Wallaahu
ta’alaa a’lam. (Kaderisasi Akhwat)